Oleh
Deris Lakumau
Siti Vivi Rohmawati Q. U.
Erika Almas A.
Fahreza Gilang Aridya
Rosida Kusuma Dewi
Jurusana Sejarah Universitas Negeri Malang
Abstrak
Masuknya pengaruh Barat ke dunia Islam pada abad 19, membuat keadaan umat
Islam semakin terpuruk yang sebelumnya
sudah terpuruk akibat adanya ajaran tarekat yang menyimpang. Melihat hal yang demikian, para pembaharu
Islam mencoba menggagas pemikiran-pemikiran yang sekiranya mampu membangkitkan
umat Islam dari keterpurukan ini. Banyak ide bermunculan seperti mengubah
struktur dalam pemerintahan Islam. Namun di antara beberapa ide pembaharuan
tersebut terdapat ide lain yang lebih menarik, yakni Pan-Islamisme. Paham Pan-Islamisme berkembang sebagai respon atas hegemoni pengaruh Barat
di dunia Islam
Kata Kunci : Pan-Islamisme, Sejarah Pan-Islamisme
PENDAHULUAN
Paham Pan-Islamisme muncul sebagai
reaksi langsung terhadap pengaruh Barat mengenai ide nasionalisme. Ide
nasionalisme dianggap mampu memecah umat Islam yang pada awalnya berada dalam
satu kepemimpinan pemerintahan Islam. Pan-Islamisme ditopang oleh adanya ide
tentang umat berdasarkan ukhuwah islamiyyah, lembaga keilmuan dan
pendidikan yang terbuka, Mekah sebagai pusat pertemuan dan ibadah, serta adanya
figur khalifah.
Solidaritas umat Islam ini ditandai
dengan munculnya gerakan-gerakan intelektual dan religio-politis yang
menyadarkan umat betapa pentingnya peranan solidaritas umat. Ketegasan
memperkuat identitas keislaman telah dibarengi dengan munculnya gerakan
tarekat, dan gerakan-gerakan pemurnian agama.
Paham Pan-Islamisme mulai diperjuangkan
oleh Wahhabiyah di Arab, dan berpengaruh ke dunia Islam hingga Indonesia.
Gerakan ini berusaha untuk mem-bangkitkan Islam dari kebekuan dan memperbaiki
dekadensi moral. Kebangkitan itu kemudian berubah menjadi gerakan anti-Barat
ketika Barat mulai merebut wilayah-wilayah Islam.
Penguasaan Barat atas
wilayah-wilayah Islam sebenarnya telah menyadarkan umat Islam untuk mengusir
mereka dari daerah tersebut. Namun kekuatan Islam yang tidak terorganisir
dengan baik membuat mereka gagal dalam melakukan perlawanan. Meski demikian
tidak menutup kemungkinan ada beberapa perlawanan Islam terhadap penjajah Barat
yang membuahkan hasil, misalnya yang terjadi di Afrika Utara melalui gerakan
tarekat Sanusiyah yang dipimpin oleh Sayid Muhammad bin
Sanusi(Abdullah: 2002).
Pengaruh
Barat terhadap Islam semakin besar terutama pada abad ke-19. Misalnya saja
tahun 1858 sultan Mughal disingkirkan, dan sebagian besar negeri-negeri muslim
dikuasai oleh Barat. Hal tersebut mendorong para pemimpin dan pembaharu dalam
Islam berpikir bahwa Islam harus bangkit dengan adanya solidaritas umat. Salah
satu perkembangannya adalah yang terjadi di Turki, dengan tokoh utamanya adalah
Sultan Abdul Hamid II.
MUNCULNYA PAN-ISLAMISME
Pan-Islamisme sebenarnya adalah
istilah yang dipopulerkan dan diperkenalkan oleh dunia barat, sedangkan
Jamaluddin sendiri lebih sering menginsyaratkannya dengan kata persatuan dan
kebangkitan. Mari kita sepakati saja dalam pembahasan kali ini, bahwa Pan-Islamisme
adalah satu gagasan atau bisa disebut dengan suatu semangat untuk meyatukan
para kaum muslimin atau perjanjian persahabatan di antara
pemerintahan-pemerintahan Islam yang dipimpin oleh pemerintahan yang paling besar dan paling kuat. Mukti berpendapat (1995: 288)
Pan-Islamisme merupakan
ramuan antara perasaan religius, perasaan nasional, dan radikalisme Eropa dari
diri Jamaluddin.
Pan-Islamisme
tidak menawarkan atau bukanlah suatu konsep dalam benegara atau bagaimana
seharusnya dan seperti apa posisi agama Islam dalam negara, Pan-Islamisme
bukanlah suatu konsep kekhalifahan, karena pada saat menggagasnya, Jamaluddin
pun berfikir bahwa tidak mungkin seluruh negara Islam yang besar berada dalam
satu penguasa saja dan jika ide ini lebih diperdalam.
Gagasan ini muncul dengan pola
pemikiran Jamaluddin yang pada saat itu sedang tinggal di Mesir dan melihat
kondisi Mesir yang amat miskin, gersang padahal tanahnya begitu kaya dan subur.
Kesulitan keuanganlah yang membuat Mesir semeronta-ronta itu dihadapan
Jamaluddin. Dalam kondisi perekonomian yang buruk itulah, mulai banyak masuknya
campur tangan asing,
Berdasarkan
lingkungan hidup saat itu di Mesir lah, Jamaluddin menjadi giat dan turun untuk
membangunkan kesadaran akan bangsa timur bahwa Barat telah mengeksploitasi
bangsanya sendiri dan bersama muridnya, Muhammad Abduh, giat melakukan
syiar-syiar lewat tulisan dan melakukan pendekatan kepada para petinggi negara.
Ia menginginkan rakyat disana bisa
berbicara dan berjuang untuk mendapatkan haknya. Berani berpendapat adalah hal
yang ditekankan oleh Jamaluddin kepada rakyat, terutama para kaum muda di
Mesir. Mereka berdua mengajarkan bagaimana menulis dan meluncurkan pendapatnya
mengenai negara. Karena disana, tulisan menjadi jarang sebagai media untuk
saling memberitakan. Padahal para pujangga Mesir amatlah terkenal, tapi
sastranya digunakan untuk hanya memuji para penguasa yang sebenarnya hanya bisa
menyengsarakan rakyatnya saja. Maka dari itu, mereka berdua menerbitkan surat
kabar bertajukkan at-Tijarah yang akhirnya juga digunakan untuk menyuarakan
keadaan timur yang sesungguhnya pada negara di timur lainnya dan berhasil
membakar semangat rakyat Mesir dengan munculnya pemberontakan-pemberontakan.
Pan-Islamisme sendiri tidak pernah terjadi
dan tidak terealisasikan dalam suatu bentuk organisasi atau wadah apapun yang
struktural untuk menjalankan misi-misinya, tetapi hanya sebatas ide dan
semangatnya lah yang berhasil disebarluaskan oleh Jamaluddin dan muridnya,
Muhammad Abduh. Cita-cita
sesungguhnya dari Jamaluddin mengenai pan-islamisme adalah terciptanya satu
pemerintahan Islam yang dipimpin oleh pemimpin Islam beserta ajaran-ajarannya.
Ia membayangkan sebuah liga internasional berisikan umat Islam. Tapi Jamaluddin juga tidak sepenuhnya
berambisi membuat pemerintahan/bentuk tersebut, karena ia juga takut
menimbulkan hubungan yang renggang dengan dunia barat sendiri dan dengan
pemeluk agama lain.
Tulisan-tulisannya yang panas dan begitu
menentang penjajahan, rasa benci terhadap asing agaknya memupuk pemikiran dan
semangat para kaum muda karena membahasa persatuan (lagi-lagi persatuan dunia
Islam atau dunia timur tengah), lalu masalah di Sudan, Mesir, dan India dibahas
dengan pandangan politik Internasional yang berisi penggerakan jiwa cinta
tangan air yang terhina dengan keadaan mereka dijajah Barat (Mukti, 1995: 300).
Saat di Istanbul, Jamaluddin sempat
akan mendirikan Jamiyah Islamiyah (Pan-Islamisme) dengan bantuan Sultan Abdul
Hamid yang menghimpun negara-negara Persia, Afghanistan, dan Turki dengan
wilayah-wilayah lainnya yang berada dibawahnya, seperti yang telah dibahas
sebelumnya, dengan cara suatu perjanjian dan persatuan untuk membenahi
pemerintahan dan pendidikan. Ia juga menginginkan Iran masuk arena Iran adalah
syiah dan menggunaka tradisinya untuk memerangi musuh bersama , yang intinya
gerakan ini dapat membendung serangan dan mencegah infiltrasi dari bangsa barat
(Eropa) pada masalah umat-umat Islam.
Jika dapat dirangkum, ada dua
pemikiran dari Jamaluddin mengenai pembaruan yang menjadi cikal bakal lahirnya
semangat Pan-Islamisme. Pertama, menyebarkan jiwa kebangkitan di dunia Timur
dalam banyak bidang seperti kebudayaan dan pendidikan, menjernihkan agama,
akidah dan ahlak untuk mengembalikan kemuliaan dan kehormatan bangsa Timur dan
kedua, melawan pendudukan kekuatan asing dan dunia Timur bisa membangun suatu
hubungan dan bersama-sama saling melindungi diri dari bahaya yang mengancam
mereka sesama umat Islam.
Islam
baginya adalah satu unit kebudayaan yang kaya, satu umat besar yang telah
membiarkan dirinya merosot dan kini terancam dari segala arah oleh kaum kafir
yang maju dengan pola pemikirannya yang rasional, dan memiliki keyakinan untuk
membuka pemikiran yang tradisional menjadi keterbukaan pikiran, intelektual dan
spiritual (black, 2001:545). Seruan lebih ditujukan kepada kelompok muslim
sebagai imperiun, yaitu muslim Arab yang dianggap sebagai kelompol muslim yang
paling mampu, karena penyebaran bahasa mereka di seluruh ummah, untuk
mendapatkan dukungan dari sultan-khalifah di Asia dan Afrika
(Hourani, 2004: 173).
Jamaluddin
juga memandang semangat Pan-Islamisme ini bukan sebagai agama, melainkan
sebagai sebuah peradaban dan membangun kembali negara-negara Islam yang
mengalami kemerosotan karena kapabilitas para pemimpinnya yang tanpa
pertimbangan dari banyak aspek, seperti ras, agama, maupun keturunan untuk
masuk untuk mencampurkan tangannya pada urusan negara, dan menyadarkan para
pemimpin untuk melepaskan diri dari cengkraman penjajahan tersebut.
Pemikirannya
dan semangat Pan-Islamisme inilah yang kelak menjadi jiwa fundamentalisme.
Setelah ia wafat, semangatnya yang dibawa oleh murid-muridnya terus berkembang.
Idenya adalah pemuncak para kaum modernis dan fondasi kaum fundamentalis di
abad-abad berikutnya dengan lingkup pengaruh Islamisme yang menjangkau seluruh
spektrum berbagai kelompok aktivis dan menjadi konsep-konsep tindakan mereka(Oliver, 1996:
2)
PENGARUH PAN-ISLAMISME
Jamaluddin Al Afghani bagi kelompok
kami adalah seorang “ibu” bagi lahirnya pemikiran modernisme islam di mesir
pada abad 19. Pemikiran modernnya terlihat pada upayanya mendobrak segala
bentuk dogmatisme dan kejumudan islam. Sikap taklid kepada para ulama yang ditampilkan
sebagian umat islam pada masa itu berusaha ia lawan. Seperti dikatakan Keddie
bahwa Jamaluddin Al Afghani setidaknya bersama murid-muridnya yang paling dekat
cenderung untuk membawa umat melangkah dari keyakinan tradisional menuju
keterbukaan pikiran dan rasionalisme yang mempunyai asal usul yang jelas (Black:
2001:546).
Pemikiran yang terbuka dan rasionalisme diperlukan bagi umat islam untuk
mendobrak pintu besar ketertutupan pemikiran atau dalam bahasa lain pintu
ijtihad telah ditutup. Dogmatisme yang sudah mengakar dalam darah umat islam
perlu di sterilisasi. Rituali-ritual mistis keagamaan yang tidak berkesesuaian
dengan islam perlu diberantas. Ketertutupan pemikiran menyebabkan umat islam
oleh bangsa barat dianggap memilki keterbelakangan intelektual. Penggunaan
nalar dalam menginterpretasikan wahyu-wahyu Allah sangatlah diperlukan.
Dilihat dari segi pemikiran
sebenarnya Jamaluddin Al Afghani dapat dikategorikan sebagai seorang modernis
tetapi sekaligus fundamentalis. Sisi modernis Al Afghani dapat diketahui
melalui buah-buah pemikiran yang mengedepankan pemikiran yang terbuka dan
menggunakan rasionalisme dalam menghadapi dogmatisme dan kejumudan agama. Namun
pada sisi lain, pemikiran Jamaluddin Al Afghani dikategorikan fundamentalis
yang seperti dikatakan Anthony Black karena sikap konfrontatifnya terhadap bangsa-bangsa
barat, Ia adalah pemuncak kaum modernis sekaligus fondasi bagi fundamentalis (Black, 2001:
550). Oleh Beverley Milton-Edwards,
fundamentalisme Al Afghani terlihat pada thesisnya dengan mengatakan bahwa
cakupan islam tentang modernitas tidak berarti menyiratkan penerimaan
besar-besaran terhadap norma dan prinsip sekularisme dan dalam agenda
politiknya akan membangkitkan dan memugar kembali persatuan umat islam (
Pan-Islamisme) sebagai kendaraan terhadap anti imperialisme dan liberalisasi(Milton-Edwards,
2005: 22). Sikap
konfrontatif dengan Barat inilah yang mengkategorikan dia sebagai peletak dasar
fundamentalisme.
Pengaruh embrio dari pemikiran
Jamaluddin Al Afghani mengenai konsep Pan Islamisme ternyata banyak melahirkan
ataupun menginspirasi gerakan-gerakan fundamentalisme islam. Sebuah gerakan
keagamaan dan politik yang mengatasnamakan “islam”. Namun sebenarnya wajah
islam sendiri warna-warni. Sebuah kerahmatan karena perbedaan. Oleh mereka,
wajah islam sekuat mungkin ataupun dengan jalan kekerasan perlu diseragamkan
menjadi satu wajah tunggal. Lalu ada beberapa karakteristik dari kaum
fundamentalis yang diantaranya :
1. Penafsiran yang bersifat represif
atas gagasan Tuhan. Mereka menolak kemungkinan “demokratisasi” interpretasi
teks-teks Tuhan tetapi menganjurkan penafsirasn absolutis.
2. Penyatuan antara agama dan negara.
Perwujudan konsep ini adalah pemerintahan teokrasi.
3. Penolakan atas dominasi
simbol-simbol modern dan barat.
4. Penafsiran yang besrifat
literal-skriptual serta menolak historisisme-rasionalisme.
5. Pan Islamisme. Manifestasi lain dari
gagasan untuk menghidupkan kembali konsep pemerintahan Pan Islamisme di mana
pemeluk islam didefinisikan dalam satu kesatuan ummah. Angan-angan ke arah satu
kekhalifahan islam merupakan perwujudan dari ide-ide ini.
Pergerakan Pan
Islamisme di Indonesia
Dalam
perkembangannya, paham Pan Islamisme juga muncul dan berkembang di Indonesia.
Hal ini diilhami dari peran para tokoh reaksioner yang turut membawa serta
mengembangkan paham tersebut di Indonesia. Salah satu partai yang berperan
penting dalam pergerakan Pan Islamisme ini adalah Sarekat Islam. Malah boleh dikata bahwa maju mundurnya posisi umat
Islam di Indonesia ditentukan oleh maju mundurnya Sarekat Islam. (Noer, 1996:114) Hal ini dimungkinkan
karena organisasi ini pada perkembangannya dianggap sebagai satu-satunya
“partai politik” bagi orang Islam dari semua golongan, mengingat dari sekian
jumlah organisasi Islam hanya berbasis pada bidang sosial dan pendidikan.
Dalam kajian pembahasan Pan Islamisme di Indonesia, dirasa kurang apabila
kita tidak menganalisis gagasan dari Tjokroaminoto. Menurut Tjokroaminoto
kebebasan Islam ini mencakup kebebasan umat seluas-luasnya terkait dengan
politik, dan ekonomi. Kemerdekaan ini mencakup tiga hal, yaitu kemerdekaan,
persamaan, dan kebebasan. Menurut Tjokroaminoto, Islam telah menggariskan
persaudaraan yang benar-benar harus dilakukan diantara umat Islam di negara
manapun juga tanpa memandang suku bangsa, ras dan kelas ekonomi. Ia menyatakan
bahwa persaudaraan dalam Islam dapat melenyapkan permusuhan dan melahirkan
persahabatan. Sejarah dan ajaran Islam sering melukiskan bahwa orang asing
sekalipun bisa menjadi sahabat karib yang dapat melebihi ikatan perhubungan
saudara yang berasal dari satu daerah dan satu silsilah.
Gerakan Pan Islamisme yang muncul diIndonesia secara massal terjadi pada
tahun 1924. Sebagai respon atas undangan Ulama Mesir yang akan melaksanakan Kongres
Islam Sedunia, kaum pergarakan Islam Indonesia mengadakan sebuah pertemuan
khusus di kota Surabaya pada tanggal 4-5 Oktober 1924. Lalu Pada
tanggal 6-7 Februari 1926 di Bandung diadakan Kongres Luar Bias bahwa a Al-Islam. Hindia Baroe edisi
12 Februari 1926 menyatakan bahwa utusan perserikatan Islam yang hadir
berjumlah 234 dari keseluruhan suara yang berjumlah 255 organisasi; 21
organisasi dengan pengiriman kawat telegram yang berasal dari Jawa, Borneo
(Kalimantan) dan Selebes (Sulawesi).
Dari beberapa kali kongres tersebut dapatlah diketahui bahwa pergerakan Islam
di Indonesia tidaklah hanya terbatas pada ruang lingkup Indonesia sendiri,
namun juga sampai merambah ke mancanegara (dalam hal ini kawasan Timur Tengah).
Sehingga pergerakan umat Islam atau munculnya paham Pan Islamisme di
Indonesia dilatarbelakangi oleh adanya hubungan antara Indonesia dengan Timur
Tengah. Hubungan yang pada mulanya adalah hubungan terkait dengan pelaksanaan
ibadah Haji tersebut, berkembang menjadi hubungan untuk saling berbagi
pengetahuan. Para jama’ah haji yang berada di kota Mekkah, kemudian memutuskan
untuk menetap di kota suci guna memperdalam ilmu-ilmu agama Islam. Di kota
suci, para penuntut ilmu dan para ulama asal Indonesia berinteraksi dengan
komunitas internasional dunia Islam, yang berpengaruh pada lahirnya rasa
kebersamaan, persaudaraan, dan persatuan antar sesama muslim. Perasaan-perasaan
ini semakin menguat ketika Kesultanan Turki Utsmani mengembangkan pergerakan
Pan- Islamismenya di Hindia Belanda.
Sehingga dalam perkembangnya paham Pan Islamisme yang terdapat di
Indonesia, dikembangkan menjadi organisasi politik yang turut berjuang dalam
merebut kemerdekaan, melalui jalan-jalan Islam. Hal ini merupakan salah satu
usaha pergerakan nasional yang dilakukan oleh umat Islam dalam usahanya
mengusir penjajah. Sebagai contoh Sarekat Islam sebagai partai pertama yang
menganut paham Pan Islamisme, yang juga mempengaruhi maju mundurnya umat Islam
pada waktu itu.
SIMPULAN
Pan-Islamisme sebenarnya adalah
istilah yang dipopulerkan dan diperkenalkan oleh dunia barat, sedangkan
Jamaluddin sendiri lebih sering menginsyaratkannya dengan kata persatuan dan
kebangkitan. Gagasan ini muncul dengan pola
pemikiran Jamaluddin yang pada saat itu sedang tinggal di Mesir dan melihat
kondisi Mesir yang amat miskin. Pan-Islamisme sendiri tidak pernah
terjadi dan tidak terealisasikan dalam suatu bentuk organisasi atau wadah
apapun yang struktural untuk menjalankan misi-misinya, tetapi hanya sebatas ide
dan semangatnya lah yang berhasil disebarluaskan oleh Jamaluddin dan muridnya,
Muhammad Abduh.
Jamaluddin Al Afghani bagi kelompok
kami adalah seorang “ibu” bagi lahirnya pemikiran modernisme islam di mesir
pada abad 19. Dilihat dari segi pemikiran
sebenarnya Jamaluddin Al Afghani dapat dikategorikan sebagai seorang modernis
tetapi sekaligus fundamentalis. Sisi modernis Al Afghani dapat diketahui
melalui buah-buah pemikiran yang mengedepankan pemikiran yang terbuka dan
menggunakan rasionalisme dalam menghadapi dogmatisme dan kejumudan agama.
Perkembangan Pan Islamisme di Indonesia
tidak terlepas dari peran para tokoh reaksioner yang mengenalkan paham
tersebut. Munculnya paham ini juga dipengaruhi oleh para peserta haji yang
kemudian menetap di kota Mekkah guna menuntut ilmu. Dari keinginan menuntut
ilmu ini, para ulama asal Indonesia dapat berhubungan dengan dunia
Internasional Islam, serta berkembanglah rasa persaudaraan dan persatuan antar
sesama muslim. Perasaan-perasaan ini kemudian menguat setelah Kesultanan
Turki Utsmani mengembangkan pergerakan Pan- Islamismenya di Hindia Belanda.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. 2002 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Khilafah jilid II. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve
Beverley Milton-Edward. Islamic
Fundamentalism since 1945. New York: Routledge. 2005
Black, Anthony. 2001. Pemikiran Politik Islam: Dari
Masa Nabi Hingga Masa Kini. Jakarta: Serambi.
Korver, A.P.E. 1985. Sarekat Islam
Gerakan Ratu Adil ?. Jakarta : Graffiti Press
Mukti, Ali. 1995 Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Noer, Deliar. 1996. Gerakan Moderen
Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES
Oliver, Roy.1996. Gagalnya
Islam Politik. Jakarta: Serambi.
Somad, Abdul. 2015. Pemikiran
Dan Pergerakan Pan Islamisme Di Indonesia Pada Awal
Abad Ke-20 (Studi Tentang Pergerakan
Khilafah Kongres Al-Islam Hindia). (Online), (http://jurnal.untirta.ac.id/index.php/Candrasangkala/article
/view/754/598),
diakses pada tanggal 5 Oktober 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar