Selasa, 22 November 2016

PAN ISLAMISME SEBUAH PEMIKIRAN PENGGERAK UMAT ISLAM



Oleh
Deris Lakumau
Siti Vivi Rohmawati Q. U.
Erika Almas A.
Fahreza Gilang Aridya
Rosida Kusuma Dewi
Jurusana Sejarah Universitas Negeri Malang


Abstrak

Masuknya pengaruh Barat ke dunia Islam pada abad 19, membuat keadaan umat Islam  semakin terpuruk yang sebelumnya sudah terpuruk akibat adanya ajaran tarekat yang menyimpang.  Melihat hal yang demikian, para pembaharu Islam mencoba menggagas pemikiran-pemikiran yang sekiranya mampu membangkitkan umat Islam dari keterpurukan ini. Banyak ide bermunculan seperti mengubah struktur dalam pemerintahan Islam. Namun di antara beberapa ide pembaharuan tersebut terdapat ide lain yang lebih menarik, yakni Pan-Islamisme. Paham Pan-Islamisme berkembang sebagai respon atas hegemoni pengaruh Barat di dunia Islam
Kata Kunci : Pan-Islamisme, Sejarah Pan-Islamisme

PENDAHULUAN
       Paham Pan-Islamisme muncul sebagai reaksi langsung terhadap pengaruh Barat mengenai ide nasionalisme. Ide nasionalisme dianggap mampu memecah umat Islam yang pada awalnya berada dalam satu kepemimpinan pemerintahan Islam. Pan-Islamisme ditopang oleh adanya ide tentang umat berdasarkan ukhuwah islamiyyah, lembaga keilmuan dan pendidikan yang terbuka, Mekah sebagai pusat pertemuan dan ibadah, serta adanya figur khalifah.
       Solidaritas umat Islam ini ditandai dengan munculnya gerakan-gerakan intelektual dan religio-politis yang menyadarkan umat betapa pentingnya peranan solidaritas umat. Ketegasan memperkuat identitas keislaman telah dibarengi dengan munculnya gerakan tarekat, dan gerakan-gerakan pemurnian agama.
       Paham Pan-Islamisme mulai diperjuangkan oleh Wahhabiyah di Arab, dan berpengaruh ke dunia Islam hingga Indonesia. Gerakan ini berusaha untuk mem-bangkitkan Islam dari kebekuan dan memperbaiki dekadensi moral. Kebangkitan itu kemudian berubah menjadi gerakan anti-Barat ketika Barat mulai merebut wilayah-wilayah Islam.
       Penguasaan Barat atas wilayah-wilayah Islam sebenarnya telah menyadarkan umat Islam untuk mengusir mereka dari daerah tersebut. Namun kekuatan Islam yang tidak terorganisir dengan baik membuat mereka gagal dalam melakukan perlawanan. Meski demikian tidak menutup kemungkinan ada beberapa perlawanan Islam terhadap penjajah Barat yang membuahkan hasil, misalnya yang terjadi di Afrika Utara melalui gerakan tarekat Sanusiyah yang dipimpin oleh Sayid Muhammad bin Sanusi(Abdullah: 2002).
Pengaruh Barat terhadap Islam semakin besar terutama pada abad ke-19. Misalnya saja tahun 1858 sultan Mughal disingkirkan, dan sebagian besar negeri-negeri muslim dikuasai oleh Barat. Hal tersebut mendorong para pemimpin dan pembaharu dalam Islam berpikir bahwa Islam harus bangkit dengan adanya solidaritas umat. Salah satu perkembangannya adalah yang terjadi di Turki, dengan tokoh utamanya adalah Sultan Abdul Hamid II.

MUNCULNYA PAN-ISLAMISME
        Pan-Islamisme sebenarnya adalah istilah yang dipopulerkan dan diperkenalkan oleh dunia barat, sedangkan Jamaluddin sendiri lebih sering menginsyaratkannya dengan kata persatuan dan kebangkitan. Mari kita sepakati saja dalam pembahasan kali ini, bahwa Pan-Islamisme adalah satu gagasan atau bisa disebut dengan suatu semangat untuk meyatukan para kaum muslimin atau perjanjian persahabatan di antara pemerintahan-pemerintahan Islam yang dipimpin oleh pemerintahan yang paling besar dan paling kuat. Mukti berpendapat (1995: 288) Pan-Islamisme merupakan ramuan antara perasaan religius, perasaan nasional, dan radikalisme Eropa dari diri Jamaluddin.
        Pan-Islamisme tidak menawarkan atau bukanlah suatu konsep dalam benegara atau bagaimana seharusnya dan seperti apa posisi agama Islam dalam negara, Pan-Islamisme bukanlah suatu konsep kekhalifahan, karena pada saat menggagasnya, Jamaluddin pun berfikir bahwa tidak mungkin seluruh negara Islam yang besar berada dalam satu penguasa saja dan jika ide ini lebih diperdalam.
        Gagasan ini muncul dengan pola pemikiran Jamaluddin yang pada saat itu sedang tinggal di Mesir dan melihat kondisi Mesir yang amat miskin, gersang padahal tanahnya begitu kaya dan subur. Kesulitan keuanganlah yang membuat Mesir semeronta-ronta itu dihadapan Jamaluddin. Dalam kondisi perekonomian yang buruk itulah, mulai banyak masuknya campur tangan asing,
       Berdasarkan lingkungan hidup saat itu di Mesir lah, Jamaluddin menjadi giat dan turun untuk membangunkan kesadaran akan bangsa timur bahwa Barat telah mengeksploitasi bangsanya sendiri dan bersama muridnya, Muhammad Abduh, giat melakukan syiar-syiar lewat tulisan dan melakukan pendekatan kepada para petinggi negara.
       Ia menginginkan rakyat disana bisa berbicara dan berjuang untuk mendapatkan haknya. Berani berpendapat adalah hal yang ditekankan oleh Jamaluddin kepada rakyat, terutama para kaum muda di Mesir. Mereka berdua mengajarkan bagaimana menulis dan meluncurkan pendapatnya mengenai negara. Karena disana, tulisan menjadi jarang sebagai media untuk saling memberitakan. Padahal para pujangga Mesir amatlah terkenal, tapi sastranya digunakan untuk hanya memuji para penguasa yang sebenarnya hanya bisa menyengsarakan rakyatnya saja. Maka dari itu, mereka berdua menerbitkan surat kabar bertajukkan at-Tijarah yang akhirnya juga digunakan untuk menyuarakan keadaan timur yang sesungguhnya pada negara di timur lainnya dan berhasil membakar semangat rakyat Mesir dengan munculnya pemberontakan-pemberontakan.
        Pan-Islamisme sendiri tidak pernah terjadi dan tidak terealisasikan dalam suatu bentuk organisasi atau wadah apapun yang struktural untuk menjalankan misi-misinya, tetapi hanya sebatas ide dan semangatnya lah yang berhasil disebarluaskan oleh Jamaluddin dan muridnya, Muhammad Abduh. Cita-cita sesungguhnya dari Jamaluddin mengenai pan-islamisme adalah terciptanya satu pemerintahan Islam yang dipimpin oleh pemimpin Islam beserta ajaran-ajarannya. Ia membayangkan sebuah liga internasional berisikan umat Islam. Tapi Jamaluddin juga tidak sepenuhnya berambisi membuat pemerintahan/bentuk tersebut, karena ia juga takut menimbulkan hubungan yang renggang dengan dunia barat sendiri dan dengan pemeluk agama lain.      
         Tulisan-tulisannya yang panas dan begitu menentang penjajahan, rasa benci terhadap asing agaknya memupuk pemikiran dan semangat para kaum muda karena membahasa persatuan (lagi-lagi persatuan dunia Islam atau dunia timur tengah), lalu masalah di Sudan, Mesir, dan India dibahas dengan pandangan politik Internasional yang berisi penggerakan jiwa cinta tangan air yang terhina dengan keadaan mereka dijajah Barat (Mukti, 1995: 300).
       Saat di Istanbul, Jamaluddin sempat akan mendirikan Jamiyah Islamiyah (Pan-Islamisme) dengan bantuan Sultan Abdul Hamid yang menghimpun negara-negara Persia, Afghanistan, dan Turki dengan wilayah-wilayah lainnya yang berada dibawahnya, seperti yang telah dibahas sebelumnya, dengan cara suatu perjanjian dan persatuan untuk membenahi pemerintahan dan pendidikan. Ia juga menginginkan Iran masuk arena Iran adalah syiah dan menggunaka tradisinya untuk memerangi musuh bersama , yang intinya gerakan ini dapat membendung serangan dan mencegah infiltrasi dari bangsa barat (Eropa) pada masalah umat-umat Islam.
       Jika dapat dirangkum, ada dua pemikiran dari Jamaluddin mengenai pembaruan yang menjadi cikal bakal lahirnya semangat Pan-Islamisme. Pertama, menyebarkan jiwa kebangkitan di dunia Timur dalam banyak bidang seperti kebudayaan dan pendidikan, menjernihkan agama, akidah dan ahlak untuk mengembalikan kemuliaan dan kehormatan bangsa Timur dan kedua, melawan pendudukan kekuatan asing dan dunia Timur bisa membangun suatu hubungan dan bersama-sama saling melindungi diri dari bahaya yang mengancam mereka sesama umat Islam.
       Islam baginya adalah satu unit kebudayaan yang kaya, satu umat besar yang telah membiarkan dirinya merosot dan kini terancam dari segala arah oleh kaum kafir yang maju dengan pola pemikirannya yang rasional, dan memiliki keyakinan untuk membuka pemikiran yang tradisional menjadi keterbukaan pikiran, intelektual dan spiritual (black, 2001:545). Seruan lebih ditujukan kepada kelompok muslim sebagai imperiun, yaitu muslim Arab yang dianggap sebagai kelompol muslim yang paling mampu, karena penyebaran bahasa mereka di seluruh ummah, untuk mendapatkan dukungan dari sultan-khalifah di Asia dan Afrika (Hourani, 2004: 173).
Jamaluddin juga memandang semangat Pan-Islamisme ini bukan sebagai agama, melainkan sebagai sebuah peradaban dan membangun kembali negara-negara Islam yang mengalami kemerosotan karena kapabilitas para pemimpinnya yang tanpa pertimbangan dari banyak aspek, seperti ras, agama, maupun keturunan untuk masuk untuk mencampurkan tangannya pada urusan negara, dan menyadarkan para pemimpin untuk melepaskan diri dari cengkraman penjajahan tersebut.
Pemikirannya dan semangat Pan-Islamisme inilah yang kelak menjadi jiwa fundamentalisme. Setelah ia wafat, semangatnya yang dibawa oleh murid-muridnya terus berkembang. Idenya adalah pemuncak para kaum modernis dan fondasi kaum fundamentalis di abad-abad berikutnya dengan lingkup pengaruh Islamisme yang menjangkau seluruh spektrum berbagai kelompok aktivis dan menjadi konsep-konsep tindakan mereka(Oliver, 1996: 2)

PENGARUH PAN-ISLAMISME
       Jamaluddin Al Afghani bagi kelompok kami adalah seorang “ibu” bagi lahirnya pemikiran modernisme islam di mesir pada abad 19. Pemikiran modernnya terlihat pada upayanya mendobrak segala bentuk dogmatisme dan kejumudan islam. Sikap taklid kepada para ulama yang ditampilkan sebagian umat islam pada masa itu berusaha ia lawan. Seperti dikatakan Keddie bahwa Jamaluddin Al Afghani setidaknya bersama murid-muridnya yang paling dekat cenderung untuk membawa umat melangkah dari keyakinan tradisional menuju keterbukaan pikiran dan rasionalisme yang mempunyai asal usul yang jelas (Black: 2001:546). Pemikiran yang terbuka dan rasionalisme diperlukan bagi umat islam untuk mendobrak pintu besar ketertutupan pemikiran atau dalam bahasa lain pintu ijtihad telah ditutup. Dogmatisme yang sudah mengakar dalam darah umat islam perlu di sterilisasi. Rituali-ritual mistis keagamaan yang tidak berkesesuaian dengan islam perlu diberantas. Ketertutupan pemikiran menyebabkan umat islam oleh bangsa barat dianggap memilki keterbelakangan intelektual. Penggunaan nalar dalam menginterpretasikan wahyu-wahyu Allah sangatlah diperlukan.
        Dilihat dari segi pemikiran sebenarnya Jamaluddin Al Afghani dapat dikategorikan sebagai seorang modernis tetapi sekaligus fundamentalis. Sisi modernis Al Afghani dapat diketahui melalui buah-buah pemikiran yang mengedepankan pemikiran yang terbuka dan menggunakan rasionalisme dalam menghadapi dogmatisme dan kejumudan agama. Namun pada sisi lain, pemikiran Jamaluddin Al Afghani dikategorikan fundamentalis yang seperti dikatakan Anthony Black karena sikap konfrontatifnya terhadap bangsa-bangsa barat, Ia adalah pemuncak kaum modernis sekaligus fondasi bagi fundamentalis (Black, 2001: 550). Oleh Beverley Milton-Edwards, fundamentalisme Al Afghani terlihat pada thesisnya dengan mengatakan bahwa cakupan islam tentang modernitas tidak berarti menyiratkan penerimaan besar-besaran terhadap norma dan prinsip sekularisme dan dalam agenda politiknya akan membangkitkan dan memugar kembali persatuan umat islam ( Pan-Islamisme) sebagai kendaraan terhadap anti imperialisme dan liberalisasi(Milton-Edwards, 2005: 22). Sikap konfrontatif dengan Barat inilah yang mengkategorikan dia sebagai peletak dasar fundamentalisme.
        Pengaruh embrio dari pemikiran Jamaluddin Al Afghani mengenai konsep Pan Islamisme ternyata banyak melahirkan ataupun menginspirasi gerakan-gerakan fundamentalisme islam. Sebuah gerakan keagamaan dan politik yang mengatasnamakan “islam”. Namun sebenarnya wajah islam sendiri warna-warni. Sebuah kerahmatan karena perbedaan. Oleh mereka, wajah islam sekuat mungkin ataupun dengan jalan kekerasan perlu diseragamkan menjadi satu wajah tunggal. Lalu ada beberapa karakteristik dari kaum fundamentalis yang diantaranya :
1.   Penafsiran yang bersifat represif atas gagasan Tuhan. Mereka menolak kemungkinan “demokratisasi” interpretasi teks-teks Tuhan tetapi menganjurkan penafsirasn absolutis.
2.  Penyatuan antara agama dan negara. Perwujudan konsep ini adalah pemerintahan teokrasi.
3.  Penolakan atas dominasi simbol-simbol modern dan barat.
4.  Penafsiran yang besrifat literal-skriptual serta menolak historisisme-rasionalisme.
5.  Pan Islamisme. Manifestasi lain dari gagasan untuk menghidupkan kembali konsep pemerintahan Pan Islamisme di mana pemeluk islam didefinisikan dalam satu kesatuan ummah. Angan-angan ke arah satu kekhalifahan islam merupakan perwujudan dari ide-ide ini.

Pergerakan Pan Islamisme di Indonesia
   Dalam perkembangannya, paham Pan Islamisme juga muncul dan berkembang di Indonesia. Hal ini diilhami dari peran para tokoh reaksioner yang turut membawa serta mengembangkan paham tersebut di Indonesia. Salah satu partai yang berperan penting dalam pergerakan Pan Islamisme ini adalah Sarekat Islam. Malah boleh dikata bahwa maju mundurnya posisi umat Islam di Indonesia ditentukan oleh maju mundurnya Sarekat Islam. (Noer, 1996:114) Hal ini dimungkinkan karena organisasi ini pada perkembangannya dianggap sebagai satu-satunya “partai politik” bagi orang Islam dari semua golongan, mengingat dari sekian jumlah organisasi Islam hanya berbasis pada bidang sosial dan pendidikan.
Dalam kajian pembahasan Pan Islamisme di Indonesia, dirasa kurang apabila kita tidak menganalisis gagasan dari Tjokroaminoto. Menurut Tjokroaminoto kebebasan Islam ini mencakup kebebasan umat seluas-luasnya terkait dengan politik, dan ekonomi. Kemerdekaan ini mencakup tiga hal, yaitu kemerdekaan, persamaan, dan kebebasan. Menurut Tjokroaminoto, Islam telah menggariskan persaudaraan yang benar-benar harus dilakukan diantara umat Islam di negara manapun juga tanpa memandang suku bangsa, ras dan kelas ekonomi. Ia menyatakan bahwa persaudaraan dalam Islam dapat melenyapkan permusuhan dan melahirkan persahabatan. Sejarah dan ajaran Islam sering melukiskan bahwa orang asing sekalipun bisa menjadi sahabat karib yang dapat melebihi ikatan perhubungan saudara yang berasal dari satu daerah dan satu silsilah.
Gerakan Pan Islamisme yang muncul diIndonesia secara massal terjadi pada tahun 1924. Sebagai respon atas undangan Ulama Mesir yang akan melaksanakan Kongres Islam Sedunia, kaum pergarakan Islam Indonesia mengadakan sebuah pertemuan khusus di kota Surabaya pada tanggal 4-5 Oktober 1924. Lalu Pada tanggal 6-7 Februari 1926 di Bandung diadakan Kongres Luar Bias bahwa a Al-Islam. Hindia Baroe edisi 12 Februari 1926 menyatakan bahwa utusan perserikatan Islam yang hadir berjumlah 234 dari keseluruhan suara yang berjumlah 255 organisasi; 21 organisasi dengan pengiriman kawat telegram yang berasal dari Jawa, Borneo (Kalimantan) dan Selebes (Sulawesi). Dari beberapa kali kongres tersebut dapatlah diketahui bahwa pergerakan Islam di Indonesia tidaklah hanya terbatas pada ruang lingkup Indonesia sendiri, namun juga sampai merambah ke mancanegara (dalam hal ini kawasan Timur Tengah).
Sehingga pergerakan umat Islam atau munculnya paham Pan Islamisme di Indonesia dilatarbelakangi oleh adanya hubungan antara Indonesia dengan Timur Tengah. Hubungan yang pada mulanya adalah hubungan terkait dengan pelaksanaan ibadah Haji tersebut, berkembang menjadi hubungan untuk saling berbagi pengetahuan. Para jama’ah haji yang berada di kota Mekkah, kemudian memutuskan untuk menetap di kota suci guna memperdalam ilmu-ilmu agama Islam. Di kota suci, para penuntut ilmu dan para ulama asal Indonesia berinteraksi dengan komunitas internasional dunia Islam, yang berpengaruh pada lahirnya rasa kebersamaan, persaudaraan, dan persatuan antar sesama muslim. Perasaan-perasaan ini semakin menguat ketika Kesultanan Turki Utsmani mengembangkan pergerakan Pan- Islamismenya di Hindia Belanda.
Sehingga dalam perkembangnya paham Pan Islamisme yang terdapat di Indonesia, dikembangkan menjadi organisasi politik yang turut berjuang dalam merebut kemerdekaan, melalui jalan-jalan Islam. Hal ini merupakan salah satu usaha pergerakan nasional yang dilakukan oleh umat Islam dalam usahanya mengusir penjajah. Sebagai contoh Sarekat Islam sebagai partai pertama yang menganut paham Pan Islamisme, yang juga mempengaruhi maju mundurnya umat Islam pada waktu itu.



SIMPULAN
         Pan-Islamisme sebenarnya adalah istilah yang dipopulerkan dan diperkenalkan oleh dunia barat, sedangkan Jamaluddin sendiri lebih sering menginsyaratkannya dengan kata persatuan dan kebangkitan. Gagasan ini muncul dengan pola pemikiran Jamaluddin yang pada saat itu sedang tinggal di Mesir dan melihat kondisi Mesir yang amat miskin. Pan-Islamisme sendiri tidak pernah terjadi dan tidak terealisasikan dalam suatu bentuk organisasi atau wadah apapun yang struktural untuk menjalankan misi-misinya, tetapi hanya sebatas ide dan semangatnya lah yang berhasil disebarluaskan oleh Jamaluddin dan muridnya, Muhammad Abduh.
        Jamaluddin Al Afghani bagi kelompok kami adalah seorang “ibu” bagi lahirnya pemikiran modernisme islam di mesir pada abad 19. Dilihat dari segi pemikiran sebenarnya Jamaluddin Al Afghani dapat dikategorikan sebagai seorang modernis tetapi sekaligus fundamentalis. Sisi modernis Al Afghani dapat diketahui melalui buah-buah pemikiran yang mengedepankan pemikiran yang terbuka dan menggunakan rasionalisme dalam menghadapi dogmatisme dan kejumudan agama.
Perkembangan Pan Islamisme di Indonesia tidak terlepas dari peran para tokoh reaksioner yang mengenalkan paham tersebut. Munculnya paham ini juga dipengaruhi oleh para peserta haji yang kemudian menetap di kota Mekkah guna menuntut ilmu. Dari keinginan menuntut ilmu ini, para ulama asal Indonesia dapat berhubungan dengan dunia Internasional Islam, serta berkembanglah rasa persaudaraan dan persatuan antar sesama muslim. Perasaan-perasaan ini kemudian menguat setelah Kesultanan Turki Utsmani mengembangkan pergerakan Pan- Islamismenya di Hindia Belanda.



DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. 2002 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Khilafah jilid II. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve
Beverley Milton-Edward. Islamic Fundamentalism since 1945. New York: Routledge. 2005
Black, Anthony. 2001. Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini. Jakarta: Serambi.
Korver, A.P.E. 1985. Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil ?. Jakarta : Graffiti Press
Mukti, Ali. 1995 Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Noer, Deliar. 1996. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES
Oliver, Roy.1996. Gagalnya Islam Politik. Jakarta: Serambi.
Somad, Abdul. 2015.  Pemikiran Dan Pergerakan Pan Islamisme Di Indonesia Pada        Awal Abad Ke-20 (Studi Tentang Pergerakan Khilafah Kongres Al-Islam        Hindia). (Online), (http://jurnal.untirta.ac.id/index.php/Candrasangkala/article
            /view/754/598), diakses pada tanggal 5 Oktober 2016.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar