Selasa, 25 Oktober 2016

Bentuk-bentuk Liberalisme



Bentuk-Bentuk Liberalisme

Adinda Amalia Firdha, Edna Sari Kusuma Dewi, Muhammad Wildan Al-Faruq, Nadifa Chuzaima, Ongky Mulya Aditya

Abstrak Liberalisme adalah suatu paham yang menjunjung tentang kebebasan. Lahirnya liberalisme di Eropa diawali oleh dominasi gereja, yang pada saat itu mengatur segala sesuatu baik dibidang politik, ekonomi, maupun agama. Hal ini menciptakan adanya pemberontakan untuk mendapatkan kebebasan. Lambat laun liberalisme menghasilkan berbagai macam bentuk yang dikemukakan oleh beberapa tokoh di dunia. Walaupun lahirnya liberalisme di Eropa tetapi negara Amerika sampai saat ini maish menggunakan paham liberalisme tersebut. 

Kata Kunci : Liberalisme, Kebebasan, Eropa, Amerika

Menurut Sudrajat (2015: 160) liberalisme secara etimologi, liberalisme (dalam bahasa inggris liberalism) adalah derivasi dari kata liberty (dalam bahasa inggris) atau liberte (dalam bahasa Prancis) yang berati bebas. Kata liberal, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti: (1) bersifat bebas; (2) berpandangan bebas (luas dan terbuka). Arti kata liberal menurut para pemikir barat berarti bebas tanpa batas sepanjang pandangan bebas tersebut sesuai dengan akal-budi manusia, karena hukum, menurut pandangan mereka adalah perintah akal budi (Yanggo, 2004: 78). Secara garis besar Liberialisme adalah suatu paham yang menghendaki adanya suatu kebebasan individu dalam segala bidang, baik bidang politik, ekonomi maupun agama. Menurut paham ini titik pusat dalam kehidupan adalah individu tersebut. Bagi para peneliti istilah liberalisme merupakan terminologi yang cukup sulit untuk di definisikan, karena konsep liberalisme tidak hanya terbentuk pada satu waktu, akan tetapi melalui rentang waktu yang panjang dengan tokoh yang bayak dan orientasi yang berbeda – beda. Namun demikian, liberalisme memiliki esensi yang disepakati oleh seluruh pemikir liberal pada setiap zaman, dengan perbedaan – perbedaan pemikiran dan penerapannya. Aliran ini memandang bahwa manusia dengan seluruh akalnya mampu memahami segala sesuatu. Manusia dapat mengembangkan diri dan masyarakatnya melalui kegiatan rasional dan bebas.
Menurut Sudrajat (2015 : 161) Karakter yang paling kuat ada dalam aliran ini adalah kebebasan individu dan rasionalisme.
Pertama, setiap orang bebas berbuat apa saja tanpa campur tangan siapa pun, termasuk negara. Oleh karena itu liberalisme sangat mementingkan kebebasan dengan semua jenisnya. Kebebasan dalam pandangan meraka tidak terbatas, selama tidak merugikan dan bertabrakan dengan kebebsan orang lain.
Kedua, penganut liberalisme meyakini bahwa akal manusia mampu mencapai segala kemaslahatan hidup yang dikehendakinya. Standart kebenaran adalah akal dan rasio. 
Dengan kata lain liberalisme merupakan aliran pemikiran yang berorientasi kepada kebebasan individu, menghormati kemerdekaan setiap orang.

SEJARAH LAHIRNYA LIBERALISME
Liberalisme lahir menjadi suatu paham dan melembaga sekitar abad 18 di daratan Eropa dan Inggris.  Idealisme liberal sesungguhnya adalah produk dari moderenisasi barat yang telah menggilas cara pandang lama yang membuat cara pikir manusia dikendalikan oleh sesuatu diluar dirinya. Embrio perjuangan kaum liberal yang menentang setiap tindakan yang dianggap menekan kebebasan individu sebenarnya telah ada di Inggris. Kebebasan individu akhirnya dijamin dengan dikeluarkannya Magna Charta tahun 1215. Isi piagam tersebut adalah bahwa seorang (kecuali budak) tidak boleh ditangkap, dipenjara, disiksa, diasingkan, atau disita hak miliknya tanpa cukup alasan menurut hukum.
Menurut Agung (2013:60) mengungkapkan bahwa dua peristiwa penting yang menjadi dasar lahirnya paham liberalisme ialah
a.       Declaration of Independence
Ke 13 koloni Inggris di Amerika Utara berhasil melepaskan diri dari belenggu penjajahan inggris dan menghasilkan “Declaration of Independence”, yang menyatakan “bahwa semua orang diciptakan sama, bahwa tuhan telah menganugrahi beberapa hak yang tidak dapat dipisahkan daripadanya, diantaranya hak hidup, kebebasan-kemerdekaan, dan hak untuk mencapai kebahagiaan” (life, liberty, and pursuit of happines).
b.      Buku Wealth of Nation karya Adam Smith yang isisnya mengenai gagasan-gagasan pokok yang menjadi dasar bagi kaum liberal di bidang ekonomi yang lazim dirumuskan dengan “laisser faire,laisser passer” (produksi bebas, perdagangan bebas).
Agung (2013:60) mengungkapkan bahwa, Pertumbuhan dan perkembangan perjuangan kaum liberal semakin nyata dengan munculnya golongan borjuis di Prancis yang menyuarakan liberalisme sebagai aksi protes terhadap kepincangan yang ada di Prancis selama itu. Di Eropa daratan yang sebelumnya berkuasa para raja – raja kaum feodal tidak saja memegang kendali kekuasaan politik, tetapi berperan dalam penguasaan ekonomi, baik di tingkat pemilikan sampai kepada produksi. Pada saat itu yang paling berperan adalah kalangan gereja, jadi pada masa itu kehidupan di dominasi oleh gereja. Kekuasaan gereja sangat besar, gereja tidak hanya memiliki hak untuk menentukan kegiatan politik,ekonomi maupun keagamaan harus berjalan. Akibat tindakan gereja, raja dan kaum feodal yang tirani, rakyat melakukan perlawanan. Mereka menuntut kebebasan, persamaan dan keadilan liberty, fraternity, dan equality, sebuah semboyan yang dikumandangkan dalam revolusi di Prancis, telah melahirkan liberialisme dalam lapangan politik.
Revolusi Prancis tahun 1789, dan revolusi industri di awal abad 19, telah melahirkan suaru abad baru di Eropa, abad pencerahan Renaissance, atau Aufklarung menurut Syam (2007:246). Adanya liberalisme membentuk masyarakat Eropa dengan perubahan nilai etika dan moral dalam berbagai aspek kehidupan maupun keagamaan. Revolusi di berbagai bidang itu, telah mengubah cara pandang manusia menjadi pusat di alam semesta, terjadi radikalisme manusia, masyarakat dan sejarah di Eropa (Barat). Kebebasan berfikir yang tumbuh demikian besar disebabkan oleh adanya pengakuan hak – hak individu untuk mengembangkan kreativitas dan berpendapat.
Selanjutnya lewat kekuasaan Napoleon Bonaparte, paham liberalisme ini disebarluaskan ke seluruh Eropa dan kemuadian menyebar ke seluruh dunia dengan semboyan (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan). Jadi lahirnya paham liberalisme ialah berawal dari bangsa Eropa yang merasa dikuasai oleh gereja, yang pada saat itu gereja hampir menguasai seluruh kegiatan kehidupan di Eropa baik kegiatan politik, ekonomi, maupun agama yang mengakibatkan munculnya aksi protes atas ketimpangan yang berlaku pada saat itu, sehingga kemudian mereka menginginkan suatu kebebasan, kemerdekaan tanpa harus terikat oleh dominasi gereja yang berlaku. Atas usaha beberapa golongan, seperti golongan kaum Borjuis yang mampu mendekati rakyat untuk menentang kekuasaan raja yang absolut, hingga akhirnya gerakan liberalisme ini meningkat menjadi gerakan politik dengan meletusnya Revolusi Prancis
Sistem Politik Liberal
Liberalis, menurut Huszar dan Stevenson dalam bukunya Political Science, bersumber kepada pemikiran politik yang bersumber dari teori John Lock (1632-1704), yang mengemukakan bahwa manusia itu dijamin oleh konstitusi dan dilindungi oleh pemerintah. Sistem politik liberal ini sangat kuat mempengaruhi bentu        k negara di Eropa Barat pada awalnya, kemudian berkembang pasca kolonialisasi dunia Barat terhadap dunia ke tiga, yakni kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Pengaruh semakin meluas dan mendunia, perlahan kini telah mengorbit dalam sistem demokrasi liberal.
Terbentuknya suatu negara merupakan kehendak dari individu – individu. Oleh karena itu, yang berhak mengatur dan menentukan adalah individu – individu tersebut. Dengan kata lain, kekuasaan negara yang tertinggi ( kedaulatan) dalam suatu negara berada di tangan rakyat.
Dengan dianutnya paham liberal, negara – negara kerajaan yang bersifat feodal dan bertumpu kepada kesetiaan terhadap raja dan keluarganya telah berubah. Dengan pengaruh liberalisme, bentuk republik bersifat parlementer seperti Jerman, Prancis, Italia. Adapun yang monarki absolut bergeser menjadi monarki konstitusional seperti Inggris, Belanda, Belgia, Spanyol. Setelah berakhirnya perang dunia di pertengahan abad 20 dan setelah runtuhnya paham komunisme membuat, yang awalnya suara raja dan suara paus dijadikan sebagai suara tuhan, namun setelah pengaruh liberalisme kuat melanda di Eropa kekuatan suara berada di tangan rakyat atau setiap warga, itu berarti suara rakyat adalah suara Tuhan.

BENTUK-BENTUK LIBERALISME
       Bentuk-bentuk liberalisme yang dikemukakan oleh beberapa tokoh menurut Sudrajat (2015: 165-175), adalah sebagai berikut :
1. Liberalisme (Absolut) Thomas Hobbes
       Hobbes berpendapat bahwa gagasan tentang kebebasan total individu di dalam lingkungan alami diciptakan untuk mengandaikan perlunya menerima ketaatan yang sepenuhnya di dalam masyarakat. Lingkungan alami yang dimaksud adalah lingkungan peperangan dimana situasi ketika seseorang tidak bisa mencegah terjadinya pertikaian fisik. Oleh karena itu, dibutuhkan usaha semua individu untuk keluar dari lingkungan alami tersebut.
       Menurut Hobbes, gagasan tentang hak alami mengarah pada diciptakannya hukum alami yang mengarahkan manusia untuk memasang batas-batas terhadap hak alaminya untuk melakukan apapun yang mereka kehendaki (Sudrajat, 2015: 166). Meskipun demikian, baginya tak seorangpun memiliki hak dan kewajiban alami terhadap orang lain dan satu-satunya kewajiban adalah memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Pandangan inilah yang menjadi ciri dasar liberalisme.
       Hans Fink (dalam Sudrajat 2015: 166) menjelaskan bahwa pemikiran Hobbers menyediakan kerangka yang di dalamnya terdapat kesimpulan-kesimpulan absolut bisa didedukasikan dari premis-premis yang merupakan landasan bagi paham liberalisme. Meskipun manusia itu setara, namun secara alami tidak bersifat sosial dan kemudian mereka memutuskan berdasarkan kepentingan mereka sendiri untuk menyepakati agar negara memaksa mereka menjadi makhluk sosial. Jadi, negara menempatkan satu individu diatas individu yang lain dan mengizinkan terciptanya perbedaa peringkat dalam masyarakat.
2. Liberalisme (Konstitusional) John Locke
       John Locke menyatakan bahwa hak alami adalah serangkaian hak spesifik yang terkait dengan kewajiban terhadap orang lain (Sudrajat, 2015: 164). Menurutnya, hak alami manusia memiliki kandungan yang terbatas. Pertama manusia memiliki hak hidup yaitu manusia berhak atas kepemilikan atas tubuhnya sendiri dan tidak bisa diambil oleh siapapun. Kedua, manusia memiliki hak atas hasi kerja kerasnya sendiri yaitu jika seseorang telah mengambil untuk dirinya sendiri dari alam maka orang lain tidak berhak untuk mengganggunya.
       John Locke berpendapat bahwa lingkungan alami pada dasarnya adalah suatu keadaan yang luas dan diliputi oleh suasana keadamaian. Pandangan ini bertolak belakang dengan Hobbes dimana ia beranggapan bahwa lingkungan alami sama dengan keadaan perang. Oleh karena itu, menurut John Lock jika ada negara dan sistem legal diperlukan, itu berarti terdapat orang-orang yang memaksakan kehendaknya atau menambah hak alaminya dan berusaha merampas hak hidup orang lain.
       Kekuasaan negara didasarkan pada kontrak antara para anggota masyarakat yang menyerahkan hak alaminya kepada pemegang kekuasaan untuk tujuan tertentu. Dalam hal ini, filsafat sosial John Locke, didasarkan pada prinsip-prinsip liberal untuk mendukung pemerintahan yang konstusional dan demokratis. Baginya, negara merupakan abdi rakyat yaitu bukan hanya berlaku kebaikan diluar negeri tapi juga didalam negeri tetapi juga berlaku kebaikan mengenai kebijakan dalam negeri serta melakukan perlindungan terhadap rakyat maupun hak milik rakyat.
3. Liberalisme (Utilitarian) David Hume
        David Hume berpendapat bahwa lingkungan alami manusia dipenuhi dengan konvensi. Intinya adalah adanya perasaan yang sungguh-sungguh dimiliki oleh orang serta kesepakatan atau konvensi yang benar-benar melibatkan mereka. Dalam pandangannya lembaga-lembaga sosial dibentuk secara berangsur-angsur dari kepentingan diri yang tercerahkan (Sudrajat, 2015: 165).
       Setiap individu memiliki kecenderungan untuk berkumpul bersama individu lain dan pada saat yang bersamaan mereka memiliki kecenderungan alami untuk berinteraksi seperti  bekerja sama, tolong menolong, hingga akhirnya tumbuh rasa saling percaya terhadap individu lainnya misalkan pada keluarga dan sahabat. Hal inilah yang merupakan fondasi semua hubungan sosial.
       Dilihat dari formasi kelompok keluarga dan sahabat tersebut, manusia mendapat pengalaman berbagi dan merasakan manfaat ketika mereka melakukan tindakan-tindakan tolong menolong ataupun bekerja sama, sehingga manusia cenderung untuk tidak mengganggu milik orang lain, asalkan orang lain tidak melakukan hal yang sama. Dari tindakan tersebut, manusia mulai mengembangkan tindakan artifisial untuk menjada diri mereka. Menurut Hume, tindakan-tindakan tersebut didasarkan pada konvensi yang tidak dapat diucapkan. Meskipun demikian, tindakan-tindakan tersebut mengikat kelompok-kelompok yang saling kenal dan secara bertahap meluas diluar kelompok tersebut.
       Ide tentang keadilan dan ketidakadilan pun tumbuh dari konvensi yang tidak terucapkan. Dalam perkembangannya, ketika tuntutan keadilan dirasakan, orang-orang mulai merasakan perlunya prosedur yang formal. Untuk memebuhi tuntutan itu, diperlukan lembaga-lembaga yang dapat mengurus kebutuhan mereka bersama.
       Liberalisme awal adalah suatu pemikiran tentang perubahan sosial menyeluruh yang didasarkan dan diarahkan oleh akal. Berdasarkan pandangan-pandangan filsafat sosialnya pada rasa nyaman dan pada manfaat lembaga-lembaga sosial, Hans Fink (dalam Sudrajat, 2015: 166) menilai bahwa Hume merupakan pelopor dari corak liberalisme yang lebih bergairah dan bersifat utilitarian.
4. Liberalisme (Kedaulatan Rakyat) Jean-Jacques Rousseau
       Rousseau berpendapat bahwa manusia pada dasarnya baik, dan kebaikan dasar itu tidak bisa dicapai dengan jalan mengganti prasangka tradisional dengan akal (Sudrajat, 2015: 166). Untuk melawan peradapan kontemporer (penggunaan rasio/akal) ia justru menjadikan alam sebagai cita-cita yaitu kembali ke alam karena disana ada suatu kehidupan yang seimbang serta kebebasam nyata dalam komunitas sederhana.
       Menurut Rousseau, kontrak akan menciptakan kebebasan dalam bentuk yang lebih tinggi. Tujuan legislasi untuk memperbesar kebebasan tersebut, karena kedaulatan harus ada di tangan rakyat dan harus ada ditangan rakyat selamanya. Dalam masyarakat yang bebas, individu akan mendapatkan kebebasan baru, kebebasan seorang warga negara dan kebebasan ini hanya dibatasi oleh “kehendak umum”. Maksudnya adalah kehendak masyarakat yang mengungkapkan kepentingan umum masyarakat dan karena kehendak individu terangkum dalam kehendak umum, ia tidak bisa benar-benar dibatasi olehnya. Hans Fink (dalam Sudrajat, 2015: 167) mengatakan bahwa hehendak umum bukanlah sebagai hasil pemilu atau survei opini, melainkan lebih sebagai kesepakatan sepenuhnya yang bisa dicapai melalui diskusi informal terbuka dalam suatu kelompok yang memiliki tugas bersama.
5. Liberalisme (Egalitarian/Akal Murni) Immanuel Kant
       Menurut Immanuel Kant, pengetahuan hak dan kewajiban yang sahih secara universal didapatkan dari refleksi atas hakikat pikiran manusia itu sendiri dan tidak diturunkan dari pengalaman. Ia memandang manusia sebagai binatang yang memiliki kebutuhan dan nafsu namun rasional. Kehidupan binatang diarahkan oleh hukum alami sedangkan perilaku manusia tidak diarahkan oleh hukum alami melainkan oleh hukum akal. Hukum itu adalah hukum kebebasan yang berarti mengikuti akal manusia itu sendiri.
       Hukum akal yang mendasar menurut Kant adalah imperatif kategoris. Hukum ini bersifat kategoris yaitu tidak bergantung pada apapun dan secara khusus tidak ada kaitannya dengan sesuatu yang mungkin menyenangkan, memuaskan, atau membanggakan (Sudrajat, 2015: 168). Kant juga berpendapat bahwa “kebebasan seseorang tidaklah mengandung ketidakbebasan orang lain”. Ungkapan ini merupakan pendapat paling sempurna atas liberalisme egalitarian yang bebas konflik dan friksi.
6. Liberalisme (Utilitarianisme-Hedonik) Jeremy Bentham
       Menurut Bentham, titik tolak pemikiran tentang masyarakat harus berangkat dari individu dan perasaannya serta lembaga-lembaga masyarakat maupun negara hanya bisa dibenarkan sejauh mereka menciptkan kenikmatan terhadap individu. Menurutnya, setiap tindakan manusia adalah upaya untuk menghasilkan kenikmatan dan menghindari rasa sakit. Dalam pandangannya, tidak ada tempat bagi perintah-perintah ilahi atau hak alami ataupun kewajiban yang didedukasikan dari renungan tentang akal murni manusia model Kant. Tindakannya hanya bisa dinilai berdasarkan konsekuensinya. Orang-orang yang melakukan tindakan tertentu yang bisa menyakiti orang lain akan secara artifisial menanggung sejumlah rasa sakit.
       Penyesuaian-penyesuaian yang ditetapkan secara publik terhadap berbagai konsekuensi dari tindakan tertentu, seperti halnya koruptor yang dihukum adalah hal yang dibenarkan. Dengan demikian hukuman yang diberikan pada orang yang bersalah adalah sebagai bentuk pencegahan umum dari tindakan-tindakan yang secara keseluruhan lebih cenderung menyebabkan ketidaknyamanan bersama (Sudrajat, 2015: 170).
       Pemikiran Bentham adalah sebentuk utilitarianisme yaitu suatu teori yang menyatakan bahwa setiap tindakan dan lembaga hanya bisa dinilai berdasarkan konsekuensi-konsekuensinya dalam kaitannya dengan kenikmatan dan ketidaknikmatan yang mereka hasilkan bagi semua yang terlibat. Liberalisme utilitarianisme-hedonik berfungsi sebagai legitimasi liberal bagi lembaga-lembaga sosial yang bercorak kapitalis.
7. Liberalisme (Utilitarianisme-Sosial) John Stuart Mill
       John Stuart Mill memiliki pendapat yang masih dalam konteks utilitarianisme hanya saja memodifikasi seginya. Basis teoritis modifikasi itu adalah pembedaan antara bentuk-bentuk kebahagiaan atau kenikmatan yang tinggi dan rendah. Kebahagiaan atau kenikmatan rohani lebih tinggi dibandingkan kebahgiaan atau kenikmatan jasmani. Setiap orang harus dibiarkan bebas mengembangkan kemampuan mereka sehingga dapat mencapai kebahagiaan dan kenikmatan yang tinggi.
       Hak individu atas pengembangan diri harus dilindungi dari pihak lain. Selain itu kebebasan berpikir, berbicara, dan pers juga harus dilindungi. Apabila terjadi kendala ataupun masalah mengenai hal-hal itu, maka negara harus ikut melakukan tindakan. Pemikiran Mill sering disebut sebagai bentuk dari liberalisme sosial karena ia memadukan hak individualisme tradisional dengan kepedulian terhadap hak-hak politik dan perkembangan pribadi serta kebebasan bagi semua orang.
8. Liberalisme (Klasik) F.A. Hayek
       Pemikiran hayek mengenai kebebasan terdapat dalam bukunya yang berjudul “The Constution of Liberty”. Argumen ini dalam bukunya adalah mengenai kebebasan dalam maknanya bagi individu, masyarakat dan peradaban secara umum. Hayek berpendapat bahwa peradaban modern sedang mengalami krisis karena barat telah kehilangan kepercayaan terhadap prinsip-prinsip kebebasan atau kemerdekaan. Pada akhirnya pemikiran menuntut tindakan, dan Hayek berupaya membentuk ulang pikiran melalui filsafat politik, mempertahankan nilai-nilai fundamental, mengartikulasikan cita-cita yang menjadi panduan bersama dalam bentuk Kedaulatan Hukum, dan memperjelas standar yang seharusnya menentukan kebijakan (Sudrajat, 2015: 172).
       Hayek memandang demokrasi sebagai bentuk pemerintahan terbaik yang dapat dipraktikan selama kaum mayoritas memiliki komitmen terhadap kebebasan individu, kedaulatan hukum, dan pemerintahan terbatas. Pada dasarnya demokrasi bukanlah sebuah pandangan hidup, melainkan seperangkat prosedur untuk menyusun dan menjalankan pemerintahan. Tidak ada tujuan yang substantif atau keyakinan inti yang melekat didalamnya yang hakiki bagi sebuah pemerintahan yang demokratis (Sudrajat, 2015: 174).
       Dalam sebuah masyarakat bebas, pemerintahan memiliki fungsi sebagai pencegah individu melakukan pemaksaan terhadap individu lain dan hal ini juga berlaku pada pemerintah. Pemakaian kekuasaan memaksa pemerintah dibatasi dan pembatasan ini juga berlaku bagi semua orang, baik yang membuat maupun menegakkan hukum. Kebebasan dan tanggung tidak dapat dipisahkan. Tanggung jawab berarti setiap individu harus menanggung akibat dari tindakannya. Jadi setiap kebebasan yang dilakukan setiap individu memiliki konsekuensi dan individu tersebut harus menerima segala resikonya.
       Kedaulatan hukum yang idela mensyaratkan bahwa hukum yang ada memiliki ciri-ciri yang sama. Hukum harus bersifat umum, harus diketahui secara pasti, diterapkan secara adil pada semua orang, harus membatasi pihak eksekutif dengan aturan-aturan legislatif dan yudikatif serta hukum harus menjamin hak-hak dasar maupun kebebasan sipil (Sudrajat, 2015: 174). Pada bagian akhir dari The Constitution of Liberty, Hayek mengulas dua hal yang menonjol, yaitu yang pertama mengenai pemerintah agar menyediakan berbagai layanan sosial sesuai dengan prinsip-prinsip dan yang kedua adalah mengenai keteguhan Hayek yang menentang kebijakan-kebijakan yang bertujuan mendistribusikan ulang kekayaan atau keadilan sosial.

SISTEM POLITIK LIBERAL DI AMERIKA
Kurang dari seperempat abad yang lampau, dengan sejumlah kecil pengecualian, demokrasi terlihat terbatas pada amerika utara dan eropa barat. Negara-negara ini memilki ekonomi industri yang maju, jumlah kelas menengah yang cukup besar, dan tingkat melek huruf yang tinggi---faktor-faktor yang oleh para ahli politik dianggap sebagai prasyarat bagi kesuksesan demokrasi. Negara-negara tersebut tidak hanya merupakan tempat bagi pemilihan umum multipartai yang bebas dan kompetetif, tetapi juga tempat bagi pemerinatahan berdasarkan hokum dan perlindungan kebebasan individual. Singkatnya, merekalah yang kemudian disebut “demokrasi liberal”.(Huntington,dkk, 2005 :193).
            Demokrasi liberal merupakan gabungan dari dua elemen yang berbeda, yang memiliki pengertian tersendiri yang tegas. Pengertian “demokrasi” dalam garis besar adalah kekuasaan ada di tangan rakyat. Pada masa ini demokrasi banyak diartikan sebagai hak pilih yang dimiliki semua rakyat secara umum dan masyarakat untuk mendapatkan sebuah jabatan. Kata “liberal” dalam pengertian demokrasi liberal tidak mengacu pada siapa yang berkuasa tetapi pada bagaimana kekuasaan dijalankan. Konsep hak alamiah atau hak yang tidak dapat dicabut, yang sekarang lebih umum disebut sebagai “hak-hak azasi manusia”, berasal dari liberalisme. Keutamaan hak azasi manusia berarti bahwa perlindungan terhadap wilayah pribadi, serta kemajemukan dan beragam tujuan yang dikehendaki manusia dalam pengejaran kebahagiaan mereka, merupakan unsure penting dari tatanan politik liberal.
             Kenyataan bahwa demokrasi dan liberalism bukannya tidak dapat dipisahkan terbukti melalui jejak sejarah adanya negara demokrasi non-liberal dan Negara non-demokrasi yang liberal. Demokrasi pada zaman kuno, walaupun penduduknya lebih terlibat dalam pemerintahan dibandingkan dengan kita pada masa kini, tidak menyediakan kebebasan berpendapat dan beragama, perlindungan atas kepemilikan pribadi, atau pemerintahan berdasarkan konstitusi. Di sisi lain, tempat kelahiran liberalism, inggris yang modern, hingga abad ke-19 masih sangat membatasi hak suara masyarakat. Seperti ang diungkapan oleh Zakaria, inggris memiliki contok klasik demokratisasi dengan perluasaan hak pilih secara bertahap setelah lembaga-lembaga penting liberalisme konstitusional dibentuk. Pada masa kini, Zakaria mengangkat Hongkong di bawah aturan kolonial Inggris, sebagai contoh liberalism yang tumbuh subur tanpa demokrasi.( Huntington,dkk, 2005 :195-196).
            Akan tetapi, fenomena yang sekarang terjadi di masyarakat modern, liberalisme sangat mudah tumbuh di negara yang menganut sistem demokrasi seperti di negara demokrasi besar seperti Amerika Serikat yang menjunjung tinggi kebebasan. Maka dari itu orang-orang sering mengatakan bahwa “apapun bisa kamu lakukan di Negara Amerika sana…..”  yang menggambarkan bahwa di amerika menjunjung tinggi kebebasan individu. Paham liberalisme di Amerika Serikat disebut sebagai lieralisme modern. Paham liberal di Amerika Serikat dapat dikatakan sebagai institusi dan prosedur politis yang mendorong kebebasan ekonomi, perlindungan yang lemah dari yang lebih kuat, dan kebebasab dari norma-norma sosial bersifat membatasi. 

PENUTUP
Liberalisme merupakan suatu paham yang mejunjung tinggi kebebasan tiap individu. Paham ini muncul pertama kali di Eropa yang saat itu diawali dengan didominasi oleh gereja. Pada saat itu, penduduk di Eropa melakukan pemberontakan untuk menuntut kebebasan yang akhirnya berkembang menjadi paham liberalisme. Dalam kurun waktu yang panjang, liberalisme terus berkembang dan memunculkan tokoh dengan berbagai bentuk pemikirannya. Liberalisme sangat mudah tumbuh di negara yang menganut sistem demokrasi seperti di negara demokrasi besar yaitu Amerika Serikat.















DAFTAR RUJUKAN

Agung, Leo. 2013. Sejarah Intelektual . Yogyakrta : Ombak
Basalim, Umar. 2007. Pemikiran Politik Barat . Jakarta : PT Bumi Aksara
Huntington, Samuel P, dkk. Amerika Serikat. Amerika dan Dunia. Jakarta : Yayasan obor Indonesia.
Sudrajat, Ajat. 2015. Sejarah Pemikiran Islam dan Dunia Barat . Malang : Intrans publishing.
Yanggo, H.T. 2004. Membendung Liberalisme. Jakarta: Republika.

Selasa, 18 Oktober 2016

Lahir dan Berkembanganya Nasionalisme di Dunia serta Perngaruhnya Terhadap Kemerdekaan Indonesia



Lahir dan Berkembanganya Nasionalisme di Dunia serta Perngaruhnya Terhadap Kemerdekaan Indonesia
Oleh: Engel Bertus Harto Darom, Eni Retno putri, Khavita Mutiara, Luluk Mahmiya, Riza Brandon Mahendra.
Abstrak : Nasionalisme mendorong perubahan drastis dalam kehidupan sosial dan kenegaraan(politik) di dunia. Pada kurun waktu empat abad, yaitu mulai abad ke 17 hingga abad ke-20 sejak kemunculannya Nasionalisme membawa pengaruh besar pada dunia terutama di Eropa dan Asia-Afrika. Pada dasarnya pertumbuhan dan perkembangan Nasionalisme di Dunia berdasar pada adanya tuntutan hak asasi manusia atas kemerdekaan dan persamaan serta perasaan cinta setiap individu terhadap bangsa dan negaranya. Nasionalisme memicu lahirnya kesadaran akan kesatuan dan persatuan sebagai suatu bangsa. Nasionalisme juga mempengaruhi Indonesia, dengan terbentuknya organisasi Budi Utomo sebagai pelopor kebangkitan Nasionalisme di Indonesia.
 Kata kunci: nasionalisme, bangsa, kemerdekaan , Budi Utomo,

Secara etimologis, kata nation berakar dari kata Bahasa Latin natio. Kata natio sendiri memiliki akar kata nasci, yang dalam penggunaan klasiknya cenderung memiliki makna negatif (peyoratif). Ini karena kata nasci digunakan masyarakat Romawi Kuno untuk menyebut ras, suku, atau keturunan dari orang yang dianggap kasar atau yang tidak tahu adat menurut standar atau patokan moralitas Romawi. Nasionalisme merupakan suatu gejala historis yeng telah berkembang akibat dari dinamika kondisi politik, ekonomi dan sosial secara khusus. Sehingga, kemudian arti nasionalisme itu sendiri juga ikut berkembang. Nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan (Winarni, 2014: 143). Bagi beberapa kasus historis, nasionalisme adakalanya juga ditimbulkan oleh situasi kolonial, sehingga di beberapa negara terjajah, nasionalisme dan kolonialisme tidak terlepas satu dengan yang lain.
Nasionalisme muncul karena adanya persamaan sikap dan tingkah laku dalam memperjuangkan nasib yang sama. Hans Kohn berpendapat bahwa nasionalisme adalah suatu paham yang menempatkan kesetiaan tertinggi individu kepada negara dan bangsa. Sementara itu, Ernest Renant menyatakan, nasionalisme ada ketika muncul keinginan untuk bersatu.
Beberapa orang masih salah menyamakan antara nasionalisme dengan bangsa. Padahal itu jelas berbeda, karena bangsa merupakan suatu kelompok masyarakat yang merasa memiliki kejadian historis yang sama. Sedangkan nasionalisme merupakan suatu paham atau aliran yang dihasilkan dari suatu gejala historis. Von Herder (dalam Winarni, 2014:177) mengatakan bahwa dengan menjadi bagian dari suatu bangsa, maka nasionalisme memberikan kita suatu identitas, bangsa kita mempunyai masa lalu, suatu sejarah nenek moyang “akar-akar” yang menempatkan kita dalam suatu tradisi. Sundoro (dalam Winarni, 2014:146) berpendapat bahwa nasionalisme merupakan suatu keharusan sejarah.

SEJARAH LAHIRNYA NASIONALISME
Dalam perspektif sejarah kuno tidak diketahui secara pasti mengenai konsep nasionalisme, tetapi tokoh-tokoh yang bisa disebut sebagai pencetus teori nasionalisme telah muncul sekitar abad ke XVIII, seperti Von Herder (1774 – 1803), Rousseau (1712 -1778). Mereka ini sering disebut sebagai nabi negara nasional, dengan teorinya tentang bangsa, serta Fiederich Hegel (1770 -1831) yang terkenal dengan teorinya tentang negara” (Fukuyama, 2004:3).
Nasionalisme bisa dibedakan menjadi dua yaitu nasionalisme kuno dan nasionalisme modern. Nasionalisme kuno lebih banyak mendekati ikatan kesukuan. Tribalisme atau kesukuan adalah kepercayaan akan kesetiaan pada sesama jenisnya sendiri, yang didefinisikan oleh etnisitas, bahasa, budaya, agama sebagai titik tolak dari nasionalisme baru (Une, 2010:177). Sedangkan nasionalisme dalam arti modern memiliki karakteristik dalam kehidupan politik selama masa industri. Menurut Denny J.A (dalam Une, 2010:178) nasionalisme modern berarti sepenuhnya bebas dalam hubungannya dengan negara-negara lain, sekaligus bangsa harus memberi kebebasan kepada warganya. Sedangkan Hans, (1984:89) menyatakan bahwa nasionalisme modern baru nyata dengan kedudukan Inggris memimpinn Eropa pada abad ke 17.
Ada dua unsur penting di dalam nasionalisme, yaitu persatuan dan kemerdekaan (Dekker, 1997:13). Pemikiran nasionalisme modern lahir di pikiran para ahli ilmu di Eropa Barat, diantaranya yaitu John Locke, J.J Rousseau dan John Gottfried Herder.
Maarif (dalam Une, 2010:178) mengemukakan bahwa munculnya sekelompok negara-negara kuat di Eropa pada abad ke 16, seperti Inggris, Prancis, Spanyol, Portugal dan lain sebagainya lebih merupakan ambisi para raja dan bukan menandakan munculnya nasionalisme. Dengan demikian di Eropa nasionalisme ditandai dengan adanya transisi dari masyarakat feodal ke masyarakat industri. Proses peralihan itu terjadi pada abad XVII yang didahului oleh kapitalisme awal dan liberalisme.
Kekuasaan kaum feodal mulai surut dan digantikan oleh para borjuis kota. Mereka tidak mau terikat oleh ketentuan-ketentuan dalam masyarakat agraris, tetapi mereka ingin bebas melakukan usaha, bersaing dan mencari keuntungan sebanyak mungkin. Faham inilah yang kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan liberalisme. Kaum borjuis dengan revolusi industrinya itu kemudian berkembang di Eropa Barat. Di tengah-tengah keadaan seperti itulah lahirlah nasionalisme Eropa Barat. Nasionalisme tersebut kemudian membangun kesadaran adanya perbedaan antar bangsa di Eropa Barat. Nasionalisme seperti itu tumbuh menjadi satu aliran yang penuh emosi dan sentimen, kecongkakan dan chauvinisme, sehingga nasionalisme Eropa Barat melahirkan kolonialisme, yaitu nafsu mencari jajahan di luar benua sendiri.
Negara-negara nasional seperti Jerman, Prancis, Inggris dan Italia berebut wilayah kekuasaan di Asia dan Afrika.  Negara-negara Eropa melaksanakan imperealisme dan kolonialisme dengan menduduki tanah jajahan. Sedangkan nasionalisme di negeri jajahan, sasaran pokoknya melawan imperialisme. Nasionalisme di tanah jajahan itu bersifat revolusioner. Nasionalisme ini tidak hanya menginginkan lenyapnya penindasan politik saja, tetapi juga penindasan sosial ekonomi. Dengan demikian tampaklah perbedaan watak nasionalisme Eropa dengan nasionalisme Asia (Indra, 2014).
Selain itu, sebab lain lahirnya nasionalisme adalah penaklukkan negara bangsa lain oleh negara tertentu yang mengakibatkan kesengsaraan bagi masyarakat negara bangsa yang ditaklukkan. Dampak dari munculnya paham nasionalisme di Indonesia adalah munculnya rasa ingin bebas dan merdeka dari pengaruh bangsa Asing. Sehingga, timbullah usaha-usaha memerdekakan diri dan bangsanya, baik itu melalui konfrontasi maupun jalur negosiasi.
Ali Maschan Moesa dalam buku yang berjudul Nasionalisme Kyai (2007:28-29) menyatakan bahwa kata kunci dalam nasionalisme adalah Kesetiaan ini muncul karena adanya kesadaran akan identitas kolektif yang berbeda dengan yang lain. Pada kebanyakan kasus, hal itu terjadi karena kesamaan keturunan, bahasa atau kebudayaan. Rangsangan untuk bergerak justru datang dari pengalaman batinnya sendiri. walaupun demikian kejadian-kejadian di luar negeri banyak pula memberikan dorongan. Namun unsur yang paling penting dalam nasionalisme adalah adanya kemauan untuk bersatu.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa nasionalisme itu merupakan suatu paham rasa cinta dan setia terhadap negara yang ditunjukkan oleh rasa ingin bersatu. Nasionalisme dalam pandangan bangsa yang terjajah oleh kolonialisme Barat merupakan kebangkitan dari rakyat untuk mendapatkan kemerdekan dan mendirikan negara yang bebas serta merdeka dari penjajahan. Sedangkan nasionalisme Barat bangkit dari reaksi masyarakat yang merasakan ketidaknyamanan budaya terhadap perubahan-perubahan yang terjadi akibat kapitalisme dan industrialisme.

PERKEMBANGAN NASIONALISME
Pada abad ke 18, nasionalisme muncul di Eropa. Paham nasionalisme berkembang dan menyebar dari Eropa ke seluruh dunia pada abad ke-19 dan 20. Pada intinya nasionalisme muncul karena adanya persamaan sikap dan tingkah laku dalam memperjuangkan nasib yang sama. Perkembangan nasionalisme di Barat khususnya di Eropa berjalan melalui tiga fase demikian: pertama, bermula pada saat hancurnya kerajaan yang dimulai pada zaman akhir abad pertengahan dan mulai berdirinya negara-negara nasional dengan ciri pokok dalam fase ini ialah identifikasi bangsa dalam perorangan yang berkuasa.
Fase kedua dari perkembangan nasionalisme di Eropa bermula sejak kekacauan perang Napoleon dan berakhir dalam tahun 1914. Peletak dasar dari nasionalisme modern yaitu Jean Jacques Rousseau (1712-1778). Ia menolak penjelmaan bangsa pada seorang penguasa atau kelas yang berkuasa dan yang secara berani mengidentifikasikan bangsa dengan rakyat (volk) atau people.
Fase ketiga, perkembangan nasionalisme di Eropa merupakan ungkapan dari tuntutan massa untuk ikut berperan sedemikian rupa hingga nasionalisme taraf ketiga ini dapat disebut sebagai ”sosialisasi dari pada bangsa”. Ungkapan kepentingan dan perasaan massa ini tercermin di setiap kebijaksanaan politik dan ekonomi bangsa yang bersangkutan dengan dorongan massa, sehingga mensyaratkan adanya loyalitas dari massa tersebut. Corak dalam fase ini melebih-lebihkan kepentingan bangsa sendiri, melampaui batas sehingga mudah menjelma menjadi suatu nasionalisme sempit dan congkak yang berkeinginan untuk mengadakan adu kekuatan dengan bangsa lain (Hardjosatoto, 1985:63).
Perkembangan Nasionalisme berjalan dengan pesatnya setelah terjadinya perang Dunia ke II terbukti dengan lahirnya beberapa negara nasional baru di Asia dan Afrika, sehingga Nasionalisme bukan hanya meliputi dalam wilayah regional tetapi sudah mengarah kepada internasionalisme, keluar wilayah Eropa. (Rochmadi, 1992: 69).

PENGARUH NASIONALISME DI BARAT TERHADAP INDONESIA
Nasionalisme  Indonesia adalalah gejala historis yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kekuasaan kolonialisme bangsa barat. Nasionalisme Indonesia secara umum bertujuan ke dalam memperhebat nation building dan charackter building sesuai dengan filsafah dan pandangan hidup bangsa, sedangkan tujuan keluar secara antitesis dan antagonis melakukan konfrontasi atau menolak segala bentuk kolonialisme. Bahwa terhadap kolonialisme, baik yang materialistik maupun yang ideologis, nasionalisme Indonesia bersikap menentang secara prinsipil (Sutomo, 1995:21). Hal ini dapat dimengerti karena nasionalisme ingin mengembalikan “the human dignity”, harga diri manusia yang hilang karena kolonialisme.
Nasionalisme merupakan sebuah paham, sehingga membawa konsekuensi dapat memberikan manfaat dan hasil yang konkret. Untuk itu perlu adanya seperangkat alat bantu yang dapat mendukung dan memperjuangkan apa yang menjadi ide-ide dari paham tersebut. Dalam hal ini para pelajar Indonesia sebagai kelompok cendikiawan (kelompok elit modern) menyadari sepenuhnya bahwa seperangkat alat yang dibutuhkan itu lain adalah sebuah organisasi modern. Organisasi yang teratur dan modern diperukan guna mewujudkan ide nasionaisme itu. Kesadaran semacam itu pulalah yang kemudian telah memberikan motivasi pada sekelompok pemuda pelajar di Stovia yang dipimpin oleh pemuda Soetomo untuk mendirikan perkumpulan Boedi Oetomo (1908) sebagai organisasi pergerakan pertama yang menjadi perintis atau pelopor bagi lahirnya organisasi-organisasi pergerakan kebangsaan Indonesia lain baik di dalam aupun di luar negeri.
Ada beberaa kalangan berpendapat bahwa nasionalisme Indonesia itu asalnya dari Barat. Hal itu tidak seluruhnya benar sebab seperti dikemukakan bahwa tumbuhnya nasionalisme sebagai gejala sejarah yang didorong oleh banyak faktor obyektif. Seperti diakui oleh Khon bahwa “nasionalisme tidaklah sama di setiap negara dan setiap zaman. Nasionalisme merupakan peristiwa sejarah, jadi ditentukan oleh ide-ide politik dan susunan masyarakat dari berbagai negara tempatnya terakar” (Sutomo, 1995:28). Mesikpun diakui terdapat pengaruh dari Barat yang mempengaruhi dan ikut membentuk nasionalisme Indonesia, antara keduanya terdapat perbedaan yang mendasar. Nasionalisme di Indonesia melandasi perjuangan bangsa Indonesia mempunyai identitas sendiri, nasionalisme di Indonesia tumbuh dan berkembang dari dan dalam masyarakat Indonesia sendiri. Berbeda dari nasionalisme Barat, nasionalisme Indonesia tidak didasarkan atas falsafah yang sempit dan deterministik. Hal itu mengandung makna bahwa dengan nasionalisme itu bangsa Indonesia menyadari keberadaanya dalam tata pergaulan hidup dengan bangsa-bangsa lain.
Nasionalisme Indonesia mengalami pertumbuhan dan perkembangan pada masa lalu seirama dengan dinamika pertumbuhan dan perkembangan pergerakan kebangsan Indonesia. Oleh karena itu, sifat dan corak perkembangannya tampil sesuai dengan sifat dan corak organisasi pergerakan yang mewakilnya. Kelahiran Budi Utomo telah dilandasi oleh nasionalisme dalam bentuknya yang masih samar-samar, hal itu tampak dari aktivitasnya. Perkumpulan ini dengan jelas membatasi gerakannya terbatas pada Jawa-Madura. Sasaran perjuangannya juga tampak belum tegas antara perjuangan politik atau terbatas pada sosiokultural. Sikap ragu-ragu itu menyebabkan aktfitasnya cenderung hanya di bidang kebudayaan. Itulah sebabnya Hatta menyebutkan Budi Utomo sebagai gerakan kultural nasionalisme. Anggotanya terbatas pada golongan priyayi.

KEBANGKITAN NASIONAL INDONESIA
Periode akhir abad XIX dan awal abad XX merupakan periode awal pertumbuhan modernisasi mayarakat bumi putera. Moderenisasi dalam hal ini diartikan sebagai hasrat untuk mencapai kemajuan dengan menuntut pelajaran dan pendidikan, terutama pendidikan model Barat. Dalam masyarakat bumi putera mulai saat itu telah tumbuh kesadaran diri akan ketertinggalan kebudayaan jika dibandingkan dengan bangsa Belanda ketika itu sebagai penjajah. Buktinya adalah bahwa semakin banyak anak yang mengunjungi sekolah untuk menuntut ilmu pengetahuan dan teknik, makin banyak penduduk pribumi yang mencari kesempatan untuk mendapatkan pendidikan modern. Hal itu semakin meningkat setelah adanya politik etis di Hindia Belanda yang salah satu programnya adalah pengembangan pendidikan bagi kalangan bumi putera. Gejala itu menjadi tanda bahwa masyarakat berkembang kearah kesadaran nasional, dan timbulnya keberanian dorongan yang kuat untuk memperoleh kemajuan.
Budi Utomo sebagai suatu organisasi pergelakan nasonal pertama didirikan atas dasar tuntutan adanya kemajuan yang direfleksikan dalam bentuk suatu organisasi itu sebagai jawaban terhadap penetrasi barat atas imperialisme dan kapitalismenya sebagai dorangan kuat untuk menjunjung tinggi derajat bangsa. Pada tahun 1906 dan 1907 Wahidin Susirohusodo mengadakan suatu perjalanan keliling ke seluruh Jawa dalam rangka menganjurkan perlunya perluasan kehidupan rakyat, anjurannya tersebut tidak hanya  bergantung kepada pemerintah Hindia Belanda tetapi juga dapat terealisasi jika bangsa Indonesia juga mau berusaha sendiri dengan cara membentuk studiesfonds atau dana pelajar yang hasilnya akan digunakan untuk membantuk para pelajar pandai yang kurang mampu dalam hal biaya. Pada tahun 1907 akhirnya perjalannya sampai di Jakarta dan bertemu dengan pelajar Stovia (sekolah dokter bumi), disitulah Wahidin bertemu dengan Sutomo dan berbincang-bincang tentang nasib rakyat yang masih kurang mendapat perhatian dibidang pendidikan. Sebagi realisasi dari gagasan yang telah mendapatkan dukungan dari teman-temannya para pelajar Stovia itu pada tanggal 20 Mei 1908 maka dibentuklah organisasi yang kemudian diberi nama Budi Utomo dan sebagai ketuanya yaitu Sutomo.
Menurut Tirtoprojo istilah Budi Utomo berasal dari kata “Budi” yang berarti perangkat atau tabiat dan “Utomo” yang dimaksud baik atau luhur. (Sutomo,1995:50). Budi Utomo maksudnya adalah perkumpulan yang akan mencapai sesuatu berdasarkan keluhuran budi, kebaikan perangai atau tabiat. Organisasi tersebut terdiri dari para priyayi Jawa. Anggota organisasi Budi Utomo ini antara lain yaitu Sutomo, Suradji, M. Muhammad Saleh, Mas Suwarno, Muhammad Suaiman, Gunawan, Gumberg, dan R. Angka. Susunan pengurus Budi Utomo ketika itu adalah : ketua: R. Sutomo; Wakil ketua: M. Sulaiman; Sekretaris I: Suwarno; Sekretaris II: M. Gunawan; Bendahara: R. Angka; Komisaris: M. Suwarno, M. Muhammad Saleh.
Penerimaan anggota dibatasi yang diterima hanya mereka yang mempunyai kesadaran dan antusias untuk mendukung dan merealisasikan cita cita dan ide dalam organisasi Budi Utomo. Walaupun tidak melakukan propoganda besar-besaran  dalam satu triwulan jumlah anggota sudah mencapai 650 orang., diantaranya  banyak kaum terpelajar, pamong praja,dan wiraswasta, dalam waktu singkat antara bulan Mei- Oktober 1908 cabang-cabang  organisasi ini telah berdiri di Jakarta, Bogor, Bandung, Magelang, Surabaya , Probolinggo, dan Yogyakarta. Tujuan Budi Utomo memang belum sepenuhnya menunjukkan sifatnya yang nasional , tujuan awalnya yaitu mencapai kemakmuran yang harmonis untuk nusa dan bangsa Jawa dan Madura, dan akhirnya kemudian berkembang. Berdasarkan hasil kongres yang pertama di Yogyakarta pada bulan Oktober 1908 bahwa tampak seolah- olah perhatian Budi Utomo terbatas pada masalah-masalah yang berkatian dengan pendidikan dan kebudayaan, sebenarnya tidak hanya sebatas itu namun hal tersebut didasarkan bahwa segala kesensaraan dan rendahnya kehidupan perekonomian  bangsanya disebabkan karena kebodohan hal ini yang menyebabkan organisasi ini lebih menitik beratkan pendidikan da kebudayaan.
Dalam perkembangannya gerakan nasional ini tetap diawasi oleh agen-agen ragasia pemerintah kolonial untuk melihat kemungkinan mereka berkembang menjadi gerakan politik yang dapat membahayakan kedudukan pemerintah kolonial Belanda di Nusantara. Cara bergerak organisasi ini bersifat halus dan hati-hati karena kebnayakan anggotanya terdiri dari para priyayi yang bekerja dalam jajaran birokarsi pemerintah Belanda. Dengan cara tersebut organisasi tersebut terhindar dari sikap represif pemerintah kolonial Belanda, sehingga mereka dapat menggerakkan masyarakat Indonesia ke arah kemajuan yang pada gilirannya siap menghadapi tempaan zaman di kemudian hari untuk menuju kemerdekaan Indonesia. Budi Utomo akhirnya diberi “rechtspoon-lijkheid, yakni mendapat pengesahan dan hak hidup sesuai dengan perundang-undangan.
Perkembangan gerakan nasional Indonesia memang tidak semata-mata dari politik etis, tetapi melalui kebijakan pendidikan yang diselenggarakan yang telah melahirkan bibit tokoh-tokoh nasionalis yang menggerkkan bumi nusantara ke arah kemerdekaan Indonesia. Setelah kelahiran Budi Utomo kemudian muncul organisasi-organisasi lain yang pernah mengancam pendidikan Barat, mulai dari sekolah guru sampai dengan sekolah teknik. Lahirnya organisasi Budi Utomo mempunyai arti yang penting bagi pergerakan kebangsaan Indonesia, Budi Utomo telah mewakili aspirasi pertama dari rakyat jawa ke arah kebangkitan dengan demikian juga aspirasi seluruh rakyat Indonesia dan sebagai pelopor munculnya organisasi nasionalisme selanjutnya. Itulah sebabnya berdirinya Budi Utomo 20 Mei tepat dikatakan sebagai kebangkitan nasional yang menyebarkan benih-benih persatuan seluruh bangsa, sejak berdirinya Budi Utomo dalam sejarah Indonesia dimulailah suatu perjuangan babak baru, suatu babak pergerakan kebangsaann di seluruh Indonesia.
PENUTUP
            Nasionalisme adalah suatu paham tentang kebangsaan, yang muncul karena adanya persamaan sikap dan tingkah laku dalam memperjuangkan nasib yang sama. Nasionalisme sendiri lahir oleh beberapa faktor pendorong lahirnya nasionalme. Faktor tersebut berbeda antara di Barat (Eropa) dan di Asia. Pada intinya Nasionalisme lahir di Eropa yang kemudian mempengaruhi sistem kenegaraan di Eropa, yang kemudian berpengaruh ke Asia.
            Dalam perkembangannya sendiri Nasionalisme di dunia telah mengalami tiga tahap perkembang mulai dari lahirnya Nasionalisme hingga Nasionalisme berubah tujuan dari awal mula dilahirkan dan menghasilkan Nasionalisme Modern. Nasionalisme Modern ini berbeda dengan Nasionalisme pada awal kemunculannya di dunia.
            Seperti yang disebutkan bahwa nasionalisme di eropa menyebabkan adanya imperialisme terhadap wilayah-wilayah tertentu yang memiliki bahan baku yang dibutuhkan, dan dijadikan sebagai wilayah kekuasaan bagi negara Eropa yang berhasil menempatinya. Salah satu wilayah yang paling dicari oleh Negara-negara Eropa adalah wilayah Asia yang kaya akan bahan baku yang dibutuhkan mereka sebagai komoditi perdagangan. Imperialisme yang dilakukan oleh Negara-negara Eropa inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor timbulnya Nasionalisme di wilayah imperial seperti di Asia.
Sebagai salah satu wilayah di benua Asia, Indonesia bisa dibilang sebagai Negara yang cukup eksis dalam dunia imperilaisme negara Eropa, hal ini terbukti dengan banyaknya negara Eropa yang silih berganti ingin  menguasai Indonesia. Pengekangan yang dilakukan oleh imperialisme dan kolonialisme Barat di Indonesia, menyebabkan bangsa Indonesia sadar akan kebutuhan untuk merdeka dan mengusir penjajah ari tanah air. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu pendorong bangkitnya Nasionalisme di Indonesia.
Nasioalisme di Indonesia di pelopori oleh organisasi pemuda pertama di Indonesia yaitu Budi Utomo pada tahun 1908. Dari organisasi kemudian muncul organisasi-organisasi lain baik berdasarkan wilayah, suku, maupun agama dengan tujuan untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA
Dekker, Nyoman. 1997. Sejarah Pergerakan dan Revolusi Nasional. Malang: Penerbit IKIP Malang.
Hans, Kohn. 1984. Nasionalisme Arti dan Sejarahnya. Jakarta : Erlangga.
Hardjosatoto, S. 1985. Sejarah pergerakan Nasional Indonesia Suatu Analisa Ilmiah. Yogyakarta: Liberty.
Indra, Fendy. 2014. Sejarah Pemikiran Besar (Ideologi): Nasionalisme, (Online), (http://fendyi.blogspot.co.id/2014/04/sejarah-pemikiran-besar-ideologi_25.html), diakses 27 Agustus 2016.
Moesa, Ali Maschan. 2007. Nasionalisme Kyai. Jogjakarta: LKIS.
Rochmadi, Nur Wahyu. 1992. Imperialisme dan Nasionalisme. Malang: IKIP Malang.
Salatalohnya, Fahmi & Pelu, A. 2004. Nasionalisme Kaum Pinggiran. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta.
Une, Darwin. 2010. Perkembangan Nasionalisme di Indonesia dalam Perspektif Sejarah. INOVASI, (Online), 7 (1): 176-187, (http://download.portalgaruda.org/article.php?article=40763&val=3590), diakses 02 Oktober 2016.
Utomo,Budi Cahyo.1995.Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia Dari Kebangkitan   Hingga Kemerdekaan. Semarang: IKIP Semarang Press.
Winarni, Retno. 2014. Sejarah Pemikiran Modern. Jogjakarta: LaksBang PRESSindo.